SEJARAH sering kali mencatat nama-nama besar di panggung nasional, namun tak jarang melupakan perjuangan lokal yang tak kalah heroik.
Di Kalimantan Tengah Khususnya Kabupaten Barito Selatan, jejak perjuangan Gerakan Mandau Talawang Pantja Sila (GMTPS) menjadi salah satu kisah penting yang mulai memudar dari ingatan kolektif masyarakat.
Pejuang daerah adalah simbol kebanggaan dan identitas suatu wilayah. Mereka bukan hanya tokoh dalam catatan sejarah, melainkan cermin semangat dan kearifan masyarakat setempat.
Sayangnya, banyak kisah perjuangan lokal kini terabaikan seiring berjalannya waktu.
GMTPS sendiri merupakan salah satu tonggak penting dalam perjalanan Kaliteng menuju otonomi.
Gerakan ini lahir dari semangat rakyat Dayak yang menuntut pengakuan terhadap hak mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
GMTPS dipimpin oleh Panglima Tinggi Christian Simbar, seorang tokoh Dayak yang dikenal berani dan memiliki pandangan jauh ke depan.
Gerakan ini pertama kali muncul di Buntok, Barito Selatan, pada tahun 1953, di tengah situasi politik nasional yang sedang bergejolak.
Di bawah komando Simbar, gerakan ini dihuni oleh puluhan pejuang dari berbagai daerah pedalaman, antara lain Mading Liwan, Tingai Liwan, Setiman Dusau, Komandor Nimben, Sida Siden, Kuji Udeng, Buri Ngaji, Tahenda Tunjang, Donisius, S. Dinan, Duhel Duwe, S.T Rado, U.G Rana, Dumin Daren, Yusepetan, Pului Kandut, Manan, Salindang, Purupundi, Ugeng Kampung, Nyepen Raje, Wenden Kimbar, Mardin, Sulan, Jauan Baya, Pinah, Aseno, Senem, Pa Sawen, Nganrai, Pa Ngetu, Nisal, Narmis, Impey, Ngok, Galin serta sejumlah tokoh lainnya
Para pejuang GMTPS dikenal sebagai milisi Dayak yang berjuang dengan mandau di satu tangan dan cita-cita otonomi di tangan lain.
Dengan peralatan sederhana dan semangat yang membara, mereka bergerak menuntut pengakuan dan keadilan bagi masyarakat Kalimantan Tengah.
Lahirnya GMTPS tak lepas dari konteks politik pada masa itu. Setelah dibentuknya Provinsi Administratif Kalimantan pada tahun 1950, aspirasi masyarakat Dayak untuk memisahkan diri dan membentuk provinsi sendiri semakin menguat.
Pada tahun 1952, rakyat dari tiga kabupaten — Barito, Kapuas, dan Kotawaringin — mengajukan sejumlah mosi dan resolusi kepada pemerintah pusat. Mereka menuntut agar Kalimantan Tengah segera dibentuk sebagai provinsi otonom.
Namun, harapan tersebut meredup ketika pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956, yang hanya menetapkan tiga provinsi baru: Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Kalimantan Tengah hanya dijanjikan akan dibentuk “selambat-lambatnya dalam tiga tahun".
Kekecewaan itu memicu ketegangan sosial dan politik di kalangan masyarakat Dayak. Di tengah kekecewaan, Christia Simbar bersama para pengikutnya mendirikan GMTPS sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan yang dianggap tidak adil.
Gerakan ini bergerak dari hutan-hutan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito hingga ke Kahayan. Dengan strategi gerilya dan senjata tradisional, GMTPS berjuang mempertahankan martabat dan hak masyarakat lokal atas otonomi yang dijanjikan.
Meskipun gerakan ini bersifat militan, tujuannya bukanlah pemberontakan terhadap negara, melainkan tuntutan terhadap pengakuan dan perhatian dari pemerintah pusat.
GMTPS menegaskan bahwa masyarakat Dayak adalah bagian sah dari Republik Indonesia yang berhak atas keadilan dan pembangunan setara.
Nama Christia Simbar memang tidak banyak tercatat dalam dokumen resmi negara.
Namun, banyak saksi sejarah menyebut bahwa perannya sangat besar dalam mengobarkan semangat perjuangan hingga akhirnya pemerintah pusat menyetujui pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah pada 23 Mei 1957.
Pendirian provinsi tersebut menjadi penanda kemenangan moral bagi masyarakat Dayak.
Di balik itu, terdapat pengorbanan dan perjuangan para tokoh yang berjuang dari balik hutan dan sungai, dengan tekad kuat menegakkan jati diri daerahnya.
Kini, ketika arus modernisasi kian deras, perjuangan GMTPS dan para tokohnya menjadi pengingat penting bagi generasi muda Kalteng.
Melupakan sejarah berarti kehilangan arah; mengenangnya adalah cara untuk menjaga jati diri dan martabat daerah.[]
Tags
kalimantana
