Tambang Emas Ilegal di Sungai Barito, Antara Desakan Ekonomi dan Kewajiban Penegakan Hukum

Tambang Emas Ilegal di Sungai Barito, Antara Desakan Ekonomi dan Kewajiban Penegakan Hukum

PALANGKA RAYA – Aktivitas tambang emas diduga ilegal kembali marak di daerah aliran Sungai Barito, tepatnya di wilayah Desa Kalahien, Kecamatan Dusun Selatan (Dusel), Kabupaten Barito Selatan (Barsel), Kalimantan Tengah dan sekitarnya. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran serius di tengah masyarakat dan kalangan pemerhati lingkungan.

Pemerhati hukum, Muhammad Enrico Hamlizar Tulis, SH MH, menilai praktik tambang emas ilegal tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berpotensi memicu konflik sosial serta menyebabkan kerugian besar bagi negara. 

Menurutnya, persoalan ini menjadi dilema klasik antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan penegakan hukum negara.

Di satu sisi, kegiatan tambang emas telah menjadi sumber penghidupan utama bagi masyarakat di pedesaan dan wilayah terpencil. Namun di sisi lain, praktik tersebut merupakan pelanggaran hukum yang berdampak luas terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola sumber daya alam.

“Secara hukum, kegiatan pertambangan di Indonesia diatur secara ketat melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dalam Pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa usaha pertambangan hanya dapat dilakukan dengan izin resmi dari pemerintah pusat,” ujar pria yang akrab disapa Enrico Tulis, Sabtu (1/11/2025).

Lebih lanjut, Pasal 158 UU Minerba menegaskan bahwa siapa pun yang menambang tanpa izin dapat dipidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga seratus miliar rupiah. Ketentuan ini menunjukkan bahwa kegiatan tambang ilegal merupakan tindak pidana serius. 

Selain itu, penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dalam aktivitas tambang juga menimbulkan pencemaran lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). 

Pelaku pencemaran dapat dipidana penjara hingga sepuluh tahun dan denda maksimal sepuluh miliar rupiah. Dengan demikian, secara normatif tambang emas ilegal tidak dapat dibenarkan dan tergolong tindak pidana pertambangan sekaligus pelanggaran terhadap hukum lingkungan hidup. 

Namun di balik pelanggaran itu terdapat realitas sosial-ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Bagi sebagian masyarakat, tambang emas merupakan satu-satunya sumber penghasilan. 

Minimnya lapangan kerja, terbatasnya akses pendidikan, dan tidak tersedianya infrastruktur ekonomi membuat warga menggantungkan hidup pada aktivitas tambang ilegal. 

Mereka melakukannya bukan karena keserakahan, melainkan karena desakan kebutuhan ekonomi. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk menegakkan hukum.

Dari sisi lingkungan, dampak tambang ilegal sangat serius. Penebangan hutan, pencemaran sungai oleh merkuri, hingga tanah longsor menjadi konsekuensi langsung dari kegiatan tersebut. Selain itu, muncul pula konflik sosial, meningkatnya kriminalitas, serta hilangnya lahan pertanian produktif di sekitar wilayah tambang.

“Penegakan hukum memang mutlak diperlukan, namun harus dilakukan secara adil dan proporsional. Terdapat beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk mencari solusi komprehensif terhadap masalah ini,” tegas Enrico. 

Ia menjelaskan, langkah pertama adalah pendampingan legalisasi tambang rakyat melalui Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IUPR) dengan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) agar masyarakat dapat menambang secara legal.

Langkah kedua, penegakan hukum terpadu dan edukasi lingkungan bagi masyarakat kecil agar tidak hanya ditekan dengan penindakan, tetapi juga diberikan pembinaan. 

Ketiga, rehabilitasi lingkungan dan pengawasan partisipatif melalui program Gakkum yang melibatkan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan ekosistem. 

“Karena itu, solusi tidak cukup hanya dengan operasi penertiban, tetapi juga harus mencakup pemberdayaan ekonomi, reformasi izin, serta penegakan hukum yang berkeadilan dan berpihak pada masyarakat kecil,” pungkas Enrico.[deni]
Lebih baru Lebih lama