Eksistensi Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan di Masa Pandemi Covid-19

Eksistensi Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan di Masa Pandemi Covid-19

OLEH : Fatimatuz Zahra Erin Gita Sari, mahasiswi semester IV Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya.

PEMBUKAAN Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara.

Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Dimasa pandemi Covid-19 yang semakin hari semakin meningkat, menyebabkan semakin banyak tutupnya usaha masyarakat yang pada akhirnya berdampak kepada pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah pemerintah terus memperpanjang PPKM sebagai antisipasi dan pengurangan penyebaran Covid 19.

Ditengah pandemi ini, pemerintah telah meluncurkan suatu program yang dikenal dengan program JKP atau Jaminan Kehilangan Pekerjaan. 

Program JKP adalah program jaminan bagi pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja. 

Program JKP ini nantinya akan dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, serta regulasi itu juga mengatur syarat peserta JKP harus terdaftar sebagai peserta seluruh program BPJS Ketenagakerjaan.

Dari program JKP ini diperoleh beberapa manfaat yaitu bantuan tunai selama 6 bulan, akses informasi pasar kerja secara online melalui sistem ketenagakerjaan atau manual, dan pelatihan kerja berbasis kompetensi, atau berdasarkan minat pekerja. 

Pada Pasal 19 ayat (3) PP 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan menyebutkan bahwa manfaat JKP dapat diajukan setelah Peserta memiliki masa iur paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut pada BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi pemutusan hubungan kerja atau pengakhiran hubungan kerja.

Para pengusaha mendukung pemerintah tentang Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). 

Namun, para pengusaha meminta agar beban biayanya pada program yang memberikan jaminan kepada buruh yang kehilangan pekerjaaan tersebut jangan sampai membebani pengusaha. 

Akan tetapi dalam hal ini masih menimbulkan pro dan kontra, karena masih banyak perusahaan yang kurang disiplin dalam menegakkan hak-hak pekerja.

Misalnya, pekerja yang tidak terdaftar menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sehingga menunggak sumbangan yang pada akhirnya berdampak pada pekerja yang tidak dapat memanfaatkan program JKP. 

Adanya persyaratan dalam Pasal 19 ayat (3) berdampak pada tidak adanya asas keadilan bagi pekerja, karena kurangnya pemahaman atau informasi apakah perusahaan telah mendaftarkan pegawainya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Adapun berdasarkan perspektif pekerja dari Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), secara tegas menolak Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diharapkan menjadi jaminan sosial (Jamsos) bagi pekerja yang diberhentikan.

Hal ini sejalan dengan penolakan landasan hukum JKP, UU Cipta Kerja, yang saat ini berstatus inkonstitusional bersyarat. 

Dimana para pekerja menolak JKP lantaran sejak awal menolak dasar aturan JKP yaitu omnibus law. Para pekerja ini menilai, proses perbaikan UU Cipta Kerja yang sedang berlangsung seharusnya menghentikan kebijakan strategis UU yang banyak ditempuh secara global. 

Sebagai pengganti JKP, Said mendesak pemerintah menggulirkan program asuransi pengangguran (unemployment insurance) untuk pekerja kena PHK. Menurut dia, program tersebut lebih lazim secara Internasional sesuai konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

Selain itu, dari sudut karyawan atau buruh, kebijakan JKP ini justru memberatkan, karena buruh dibebani dengan pembayaran iuran. Karena selama ini, buruh gaji buruh sudah harus dipotong untuk pembayaran iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Demikian juga terkait dengan manfaat dari program JKP yaitu manfaat akses informasi pasar dan pelatihan kerja juga belum jelas, sebagaimana yang terjadi pada program Kartu Prakerja. 

Hal ini menimbulkan keraguan di kalangan buruh akan manfaat dari JKP atau justru memanfaatkan buruh untuk mengumpulkan dana dari buruh untuk kepentingan pemerintah.

Untuk itu, pemerintah harus benar-benar mengkaji dengan matang implementasi dari JKP apalagi di masa pandemi Covid-19 sehingga tidak menambah beban hidup bagi rakyat/buruh tetapi justru harus dapat meringankan beban buruh sehingga buruh dapat melangsungkan hidup keluarganya dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[]


Lebih baru Lebih lama