Safrizal Tekankan Pengelolaan Tambang Berbasis Lingkungan

Safrizal Tekankan Pengelolaan Tambang Berbasis Lingkungan

MASIH terasa segar dalam ingatan, banjir terbesar di Kalimantan Selatan (Kalsel) pada awal tahun 2021. 

Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan sepakat atas pernyataan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), bahwa bencana banjir di Kalsel bukan sebatas karena curah hujan. Banjir di Kalsel disebabkan kerusakan lingkungan, akibat kegiatan tambang dan alih fungsi hutan menjadi kebun sawit.
Daniel memandang, kerusakan akibat tambang dan alih fungsi hutan itu yang kemudian membuat lingkungan tidak lagi dapat bertahan menghadapi cuaca, sehingga berakibat bencana. 

Karena itu, ia meminta agar lahan-lahan yang terlanjur dialihfungsikan menjadi perkebunan maupun tambang, dapat dikembalikan seperti semula. Hal itu bertujuan untuk mencegah kejadian serupa banjir pada saat ini terulang.

"Kerusakan lingkungan dan masifnya alih fungsi hutan menjadi salah satu bencana ini. Sehingga tidak mampu menghadapi kondisi cuaca. Paksa untuk rehabilitasi sesuai peraturan yang ada," kata Daniel, pada 18 Januari 2021,seperti yang dilansir dari Suara.com.

Pentingnya pengelolaan tambang yang berbasis lingkungan sebagai upaya tata kelola strategis pertambangan minerba, itulah yang Penjabat (Pj) Gubernur Kalsel, Safrizal ZA disampaikan saat berdiskusi dengan rombongan Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXII Lembaga Kertahanan Nasional (Lemhannas) di Ruang H. Maksid, Setdaprov Banjarbaru, Senin 21 Juni 2021, melalui Siaran Pers Humas Pemprov Kalsel. 

PPRA LXII Lemhannas menyambangi Pemerintahan Provinsi (Pemprov)  Kalsel dalam rangka Studi Lapangan Isu Strategis Nasional, dengan fokus pada ranah pertambangan minerba. Sebanyak 21 anggota rombongan disambut oleh Kepala Dinas ESDM Kalsel, Isharwanto, Plt Kepala Dinas Kehutanan, Fathimatuzzahra, serta jajaran SKPD lainnya.

Ketua tim rombongan Lemhannas, Irjen Pol Drs. Sumadi mengatakan, studi lapangan ini menyasar PT Adaro sebagai objek kajian.

“Kami dari Lemhannas melakukan kajian sejauh mana PT Adaro betul-betul melakukan teknik pertambangan yang baik dan berwawasan lingkungan,” ujarnya.

Disebutkan, gambaran komprehensif yang ingin diketahui yakni sejauh mana kontribusi PT Adaro bagi peningkatan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, serta aspek pemberdayaan di Kalsel.

Sementara itu, Safrizal ZA menjelaskan, PT Adaro sudah meraih penghargaan kategori Golden dalam penilaian Proper dari Pemprov Kalsel.

“Adaro ini dapat Golden karena merupakan perusahaan tambang yang menurut penilaian Pemprov Kalsel sangat peduli dengan lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat,” sebut Safrizal.

Terkait pertumbuhan ekonomi yang menyasar target 7 persen, Safrizal menerangkan, Provinsi Kalsel membutuhkan investasi yang besar. 
Hingga saat ini, sektor pertambangan masih berperan penting bagi pendapatan negara. Kendati begitu, ia sangat menekankan model pertambangan berbasis lingkungan serta Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang selektif dan transparan. 

“Pertambangan yang terkontrol dan terbina dengan baik, kewajiban mereka untuk restorasi tambang juga membuat lebih terkendali,” ucapnya mengingatkan.

Selain rehabilitasi bekas tambang, Safrizal juga menyebutkan upaya Pemprov Kalsel untuk memulihkan lingkungan.

“Kalsel sudah beberapa tahun melakukan revolusi hijau, dengan target per tahun 32.000 hektare. Saat ini sudah tercapai 11.000 hektare,” jelasnya. 

Sebelumnya, mengutip Laporan Greenpeace bertajuk "Coal Mines Polluting South Kalimantan's Water" yang diterbitkan Desember 2014, setidaknya dua pertiga dari eskpor batu bara di Indonesia diproduksi di Kalsel.

Pada tahun 2008, setidaknya ada 26 izin pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dari 430 izin dari pemerintah daerah yang berada di Kalsel. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia mencatat ada 480 perusahaan tambang legal di Kalsel per tahun 2013.

Studi juga mengungkap, beragam dampak yang bisa disebabkan aktivitas pertambangan batu bara terhadap lingkungan sekitar. Beberapa diantaranya seperti deforestasi, kerusakan akibat penggalian lubang tambang, polusi dan limbah tambang, hingga dampak kesehatan bagi warga dan satwa sekitar.

Dilansir dari cnnindonesia.com, Greenpeace Indonesia menduga banjir bandang melanda Kalsel lantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) telah kehilangan sekitar 304.225 hektar tutupan hutan sepanjang 2001-2019. Sebagian besar sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit

Juru Bicara Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Kompas menjelaskan, bahwa DAS itu merupakan wilayah yang seharusnya menampung air hujan di Kalsel. Namun karena tutupan hutannya berkurang drastis, kemampuan menampung air jadi berkurang.

"Kalau dari pantauan kita, 2001 sampai 2019 sekitar 304.225 hektar kehilangan tutupan hutan di situ. Itu yang menunjukkan daya tampung pendukung hutan di daerah itu sudah menurun drastis," katanya.

Masifnya angka deforestasi, masih menjadi permasalahan lingkungan yang sarat ditemukan. Mengutip data Forest Watch Indonesia (FWI) dalam laporan "Angka Deforestasi Sebagai Alarm Memburuknya Hutan Indonesia", rasio hutan di Kalimantan hanya memenuhi 47 persen dari total daratan per 2017.

Angka deforestasi yang terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2000, tutupan hutan alam di Kalimantan mencapai 33,2 juta hektar. Kemudian turun menjadi 28,3 juta hektar tahun 2009, 26,8 juta hektar pada 2013 dan 24,8 juta hektar pada 2017.

Salah satu faktor dari penurunan luas tutupan hutan adalah masifnya jumlah konsesi yang memanfaatkan kawasan hutan dan lahan. FWI mencatat hingga 2017 terdapat 32 juta hektar hutan alam yang sudah dibebani izin berusaha.

Khusus untuk Kalimantan, besaran paling luas yakni 12,8 juta hektar hutan yang dilepas untuk izin usaha. Angka itu terdiri dari 5,2 juta hektar untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), 756 ribu untuk Hak Tanaman Industri (HTI), 642 ribu untuk perkebunan kelapa sawit dan 1,5 juta untuk tambang.

Juga ada 4,6 juta lahan hutan yang masih tumpang tindih antara izin untuk HPH, HTI, perkebunan kepala sawit dan tambang. Data ini belum termasuk area yang dikuasai oleh perhutani.

Selain karena daya tampung air yang berkurang, deforestasi juga mendorong terjadinya krisis iklim yang bisa berpengaruh besar pada curah hujan ekstrem di musim penghujan. Dengan curah hujan tinggi dan kurangnya tampungan air, potensi banjir jadi semakin besar.

Tak hanya di Kalimantan, dampaknya juga terasa dalam skala nasional lantaran penurunan luasan tutupan hutan konsisten terjadi di berbagai daerah. Pada tahun 2000 tutupan hutan mencapai 106,4 juta hektar. Lalu menurun menjadi 93 juta hektar di tahun 2009, 88,5 juta hektar tahun 2013 dan 82,8 juta hektar tahun 2017.

"Krisis iklim sudah terjadi. Itu ramalan IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) yang memproyeksi apa yang terjadi 50 tahun ke depan sudah di depan mata. Curah hujan semakin tinggi, itu faktor perubahan iklim," kata Arie.

Meskipun ada banyak faktor yang bisa mendorong krisis iklim, seperti pengolahan sumber daya fosil dan pemanasan global, Ia mengatakan penebangan hutan juga menciptakan karbon yang memperparah perubahan iklim.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri pernah mengungkap potensi bencana banjir, sebagai salah satu dampak dari krisis iklim jika tidak ditangani dengan baik. Itu disampaikan melalui "Studi Perubahan Iklim di Indonesia" yang diterbitkan 2017 lalu.

"Perubahan iklim di masa depan dapat memperluas daerah rawan banjir, khususnya pada skenario periode curah hujan berulang 5-10 tahun dan meningkatkan frekuensi banjir besar untuk periode ulang sekali dalam 10-25 tahun," tulis studi tersebut.[adv/araska]


Lebih baru Lebih lama