Golden Age

Golden Age

SUATU ketika saya menonton sebuah tayangan youtube tentang perjuangan seorang Ibu tunggal yang merawat anak down syndrome. Beliau bercerita tentang bagaimana pola asuhnya selama ini kepada sang anak. Ada sebuah kalimat yang kemudian begitu saya ingat hingga sekarang. Kira-kira kalimatnya seperti ini

“jika anak pada umumnya memiliki golden age (usia emas), anak saya yang down syndrome juga pasti punya, walaupun saya tidak tau fase itu terjadi pada usia berapa, sehingga saya harus mengoptimalkan pada setiap tahunnya, siapa tau pada usia tersebut adalah fase golden age-nya anak saya”.

Bagi yang belum tau, Golden Age adalah tahapan paling penting pada masa pertumbuhan anak yang dihitung 1000 hari sejak masih dalam kandungan. Pada fase ini, otak anak mengalami pertumbuhan secara maksimal, begitu pula dengan fisik anak. Pada fase ini anak juga mengalami perkembangan kepribadian. Sehingga fase Golden Age merupakan fase keemasan yang tidak bisa diabaikan para orang tua untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak.

Pernyataan Ibu pada tayangan tadi akhirnya membuat saya menyadari bahwa tidak akan pernah ada usaha yang sia-sia. Tindakan Ibu tadi adalah salah satu contoh sebuah kerja keras, beliau selalu mencoba walaupun tidak peranah tau kapan bisa memanen hasilnya. Sejatinya, seorang anak berkubutuhan khusus juga memiliki hak untuk diperlakukan sama. Mereka semua memiliki kemampuan yang tidak kalah hebat dengan anak pada umumnya. Berserah tentu saja bukan sebuah jalan keluar. 

Albert Einstein pernah bilang, “kalau kita menilai ikan dari cara dia memanjat pohon, maka ikan itu akan merasa bodoh seumur hidupnya”. Setiap anak terlahir dengan kemampuan dan bakat yang berbeda, tidak terkecuali dengan anak berkebutuhan khusus. Kita hanya perlu berusaha sedikit lebih keras untuk bisa menemukannya. Membandingkan fase tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus dengan anak pada umumnya tentu saja bukan perilaku yang tepat. Karna tentunya, semua anak dilahirkan berbeda dengan fase tumbuh kembang yang tidak bisa dipukul rata.

Kesalahan sering kali terjadi ketika orang tua mulai membandingkan anak mereka dengan anak-anak lain seusianya. Membandingkan anak dengan teman-teman seusianya tentu saja membuat anak merasa tertekan dan rendah diri. Hal tersebut justru menjadi batu sandungan bagi anak untuk menggali dan menunjukkan bakat yang dimilikinya karna ia sudah terlanjur merasa “berbeda”.

Saya akan mengakhiri artikel ini dengan sebuah kutipan yang sering saya baca diberbagai platform social media, kira-kira bunyinya begini,

“berhentilah berpikir bahwa orang yang sukses di dunia ini hanya Dokter, Pengacara, dan Insinyur”. 

Berhentilah berharap anak anda akan terlahir sama dengan anak-anak lain. Tugas orang tua adalah membantu mengoptimalkan dan mengembangkan minat dan bakat anak. Jangan memaksanya bermain golf jika minatnya tertuju pada musik. Sebaliknya, jangan memaksanya bermain musik jika minatnya ingin menjadi pemain sepak bola. Percayalah bahwa semuanya akan baik-baik saja selagi mereka merasa bahagia.

Penulis : Happy Ika Kurniawati
Seorang guru di SLB Negeri Marabahan, Batola, Kalimantan Selatan, yang masih terus belajar dalam memahami kebutuhan peserta didik luar biasa yang memiliki karakteristik yang unik. Semoga karya ini bermanfaat bagi semua orang.
Lebih baru Lebih lama