Hati yang Merdeka dari Belenggu Harta dan Tahta

Hati yang Merdeka dari Belenggu Harta dan Tahta

Prosa | Rahman Banjar
Pagi ini, melintas ingatan pada perkataan guru mengajiku dulu di Martapura, "Semakin kaya seseorang akan semakin tamak dengan harta dan akan semakin perhitungan mengeluarkan hartanya, begitu pula dengan orang yang mengejar jabatan dan kekuasaan, mereka tak pernah puas dengan harta atau jabatan dan kekuasaannya. Sedikit sekali orang yang dapat berlapang dada dan ringan tangan dengan harta atau jabatan dan kekuasaannya !".

Sejenak berhenti, beliau kemudian melanjutkan, "Sebagian dari mereka yang sedikit sekali itu, walau hidup sederhana, tapi masih tetap ringan tangan dan pemurah, baik saat kaya atau miskin, harta dan kekuasaan tidak menguasai hatinya, maka Allah memberikan kelapangan dada dan ketenangan hidup pada mereka !"

Saat itu aku tidak mengerti, hanya manggut-manggut mengiyakan, terutaman manggut-manggut karena sudah mengantuk, untunglah masih mendengar apa yang beliau katakan. Aku tahu, beberapa teman mengaji lainnya malah sudah ada yang tertidur.

Mengingat kembali perkataan beliau, sekarang aku bisa memahaminya, karena banyak orang yang kutemui seperti itu!

Dari sisi sebaliknya, ada temanku yang ringan tangan dan pemurah, baik saat ia punya harta atau tidak. Pernah saat ketemu dengannya, ia melihat handphonku yang diikat dengan gelang karet, ia bertanya "kenapa Hpnya?"

"Baterainya bengkak dan casing belakangnya sudah pecah, Hp tua sulit mencari suku cadangnya, tak mengapa asal masih bisa dipakai telepon dan sms," jawabku.

Satu minggu kemudian aku ketemu lagi dengannya, ia menyodorkan sebuah handphon. Tentu saja aku tak mengerti dengan apa yang ia lakukan.
"Pakai Hp ini, masih bagus, walau cuma bisa sms dan telepon tapi suku cadangnya masih banyak yang jual" katanya kemudian.

“Aku lagi tak punya uang untuk menggantinya,” jawabku.
“Pakai saja, dari pada aku tak kepakai, lebih baik kau yang memakainya,” ucapnya.

Apa yang ia lakukan seperti itu, tidak hanya sekali tapi sudah berulang kali. Karena sikap temanku yang pemurah tersebut, aku pun juga selalu berusaha membantunya saat ia sedang kesusahan, walau aku sendiri sedang kesusahan!

Seperti kejadian beberapa waktu yang lalu, temanku tersebut menelepon saat sudah tinggi malam, “Ra, temani aku di rumah sakit, aku mengantar adikku yang hendak operasi caesar,  suami dari adikku dan mertua perempuannya sedang menunggu di dalam ruangan, aku sendirian di luar rumah sakit tak ada teman.”

Sesaat itu aku berpikir, aku tidak kenal dengan adik perempuannya apa lagi dengan suami adiknya tersebut, tapi ia adalah temanku. Ia perlu bantuan, aku tak bisa membantu dengan uang, paling tidak aku bisa membantu dengan tenaga. Alhamdulillah, masih ada sedikit uang untuk beli bensin full tank, walau agak kurang enak badan!

Hingga selama beberapa hari aku bolak-balik menemaninya di rumah sakit dan mengantar adik iparnya mencari obat keliling Banjarmasin. Sampai adik petempuannya yang operasi caesar sudah dibolehkan pulang oleh dokter, mereka pun kembali ke Kuala Kapuas.

Memang saat hati merdeka dari belenggu harta dan tahta, pertemanan menjadi lebih bermakna, dan dunia terasa lebih damai, sehingga hidup dapat dijalani dengan ikhlas.
Lebih baru Lebih lama