Radikalisme dan Intoleransi Menurut Acil Umbrah

Radikalisme dan Intoleransi Menurut Acil Umbrah


BEREDAR surat dari Kementrian Ristek dan Pendidikan Tinggi agar seluruh perguruan tinggi di Indonesia menggelar aksi nyata melawan radikalisme dan intoleransi. Di surat tersebut perguruan tinggi diminta untuk berpartisipasi di acara bertajuk "Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme." Deklarasi yang rencananya akan dibacakan di 34 provinsi berbunyi : satu ideologi Pancasila, satu konstitusi UUD 1945, satu negara yakni NKRI, satu semboyan; Bhineka Tunggal Ika, dan satu tekad untuk melawan radikalisme dan intoleransi.

Aksi yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2017 digelar karena paham radikal dinilai sudah menjadi ancaman nyata bagi bangsa dan negara ini. Aksi radikalisme harus dihentikan. Aksi intoleransi harus dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Ini dilakukan tidak lain untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia agar tidak porak-poranda seperti di Afghanistan, Irak, Libya, atau yang terakhir, Suriah.

Barangkali disahkannya Perppu Ormas yang di awal pengesahannya langsung digunakan untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dianggap belum cukup untuk melawan gerakan radikalisme. Atau mungkin pemerintah bersama ormas-ormas yang sejalan dengan visi pemerintah memang tak mau memberi napas untuk kelompok-kelompok yang dituding radikal dan intoleran. Setelah HTI, sejumlah ormas yang identik dengan aksi kekerasan sepertinya tinggal menunggu waktu untuk dibubarkan.

Namun, sayangnya kata radikalisme dan intoleransi dimaknai terlalu sempit oleh pemerintah dan mungkin juga bangsa ini. Radikalisme misalnya, hanya ditujukan kepada kelompok-kelompok yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila atau kelompok lain yang cenderung memaksakan kehendak dalam melawan kebijakan pemerintah, sementara orang yang mengampanyekan LGBT dan mendukung Komunisme tidak pernah dituding radikal. Kemudian sejumlah kelompok besar yang memaksakan Teluk Jakarta harus direklamasi--meskipun legalitasnya masih belum jelas--juga tidak pernah dituding radikal. Apalagi reklamasi ini jelas mengancam piring nasi para nelayan di pesisir Jakarta. Itu belum ditambah dengan dampak ekologi yang muncul setelah lautan di pesisir Jakarta ditimbun tanah dan pasir setinggi 10 meter.

Ngomong-ngomong soal radikalisme dan intoleransi, saya jadi penasaran; Apakah benar keduanya menjadi ancaman nomor satu bagi bangsa dan negara ini? Karena rasa penasaran ini, sudah satu tahun terakhir ini saya berkeliling dari satu warung ke warung lainnya untuk menanyakan kepada rakyat kecil; Apakah mereka yang notabene rakyat kecil benar-benar terancam dengan aksi radikalisme dan intoleransi?

Dari hasil pertemuan saya dengan puluhan, bahkan ratusan masyarakat, saya tidak menemukan jawaban bahwa radikalisme menjadi ancaman nomor satu untuk rakyat kecil. Mereka justru mengatakan bahwa naiknya tarif listrik dan dicabutnya subsidi listrik untuk pelanggan kategori 900 VA jauh lebih mengancam rakyat. Sebagai contoh, jika sebelumnya pelanggan listrik 900 VA hanya mengeluarkan biaya sekitar Rp150 ribu per bulan, saat ini masyarakat membayar dua kali lipat dalam satu bulan. Bahkan, pelanggan kategori 1200 VA ke atas harus mengalokasikan dana yang cukup besar hanya untuk membayar listrik. Kondisi ini jelas makin memberatkan masyarakat yang penghasilannya pas-pasan.

Tempo hari, saat saya sedang berdiskusi tentang isu radikalisme dan intoleransi di warung kopi, Acil Umbrah ikut bicara. Menurut dia rakyat kecil tidak takut teroris, tidak terancam dengan radikalisme dan intoleransi. Mereka hanya takut dengan naiknya tarif listrik, cabe rawit, beras, bawang merah, gula, garam, daging ayam, nasi kuning, soto banjar, es nyiur, sanggar tiwadak, mandai, dan gangan waluh. Meski demikian, Acil Umbrah tidak pernah menuding pemerintah sebagai pelaku radikalisme dan intoleransi.[]

Batulicin, 29 Oktober 2017
Penulis : Puja Mandela


Lebih baru Lebih lama