Biomassa, Swasembada Energi yang Sering Dianggap Remeh

Biomassa, Swasembada Energi yang Sering Dianggap Remeh


BELAKANGAN ini, publik menerima informasi yang cukup menggembirakan terkait potensi energi terbarukan, khususnya biomassa, yang dinilai mampu diproduksi oleh industri kecil. Kondisi harga BBM saat ini Rp10.000 per liter untuk Pertalite dan Rp12.800 per liter untuk Pertamax, mendorong masyarakat mencari alternatif energi yang lebih murah dan berkelanjutan.

Pertanyaannya, mampukah biomassa memenuhi kebutuhan bahan bakar nasional yang mencapai 170.000 ton per hari? Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sebelumnya menyampaikan bahwa pada 2026 Indonesia berpotensi mengalami defisit stok BBM. Artinya, kebutuhan terhadap sumber energi baru semakin mendesak.

Di lapangan, kualitas BBM subsidi yang dinilai menurun membuat sebagian masyarakat beralih ke Pertamax, meski ketersediaannya juga kerap terbatas. Kondisi ini memperlihatkan adanya persoalan pada proses pembakaran, terutama pada mesin dengan rasio kompresi rendah. 

Secara teknis, angka oktan bukanlah senyawa, melainkan ukuran ketahanan bahan bakar terhadap tekanan dan pembakaran. Dalam konteks biomassa, satu hektare sawah berpotensi menghasilkan sekitar 3.000 liter bahan baku dari jerami. Jerami sendiri dapat diolah menjadi berbagai produk turunan, seperti briket biomassa, media budidaya jamur, hingga pakan alternatif ruminansia.

Namun, produksi biomassa dalam bentuk bioetanol membutuhkan proses yang panjang. Mulai dari pencacahan bahan organik, pembakaran, pengasaman, fermentasi hingga dua pekan, sampai proses penguraian glukosa yang juga membutuhkan waktu. Penggunaan ragi sebagai katalis memang mempercepat fermentasi, tetapi memengaruhi kadar oktan.

Hasil akhir berupa etanol pun belum memenuhi standar oktan yang dibutuhkan mesin kendaraan. Oleh karena itu, industri perminyakan seperti Pertamina masih memerlukan zat aditif ETBE dan MTBE, yang hanya bisa diproduksi oleh industri petrokimia dan tidak dijual bebas. Peneliti sepakat bahwa untuk skala besar, bioetanol perlu dikatalisasi agar kualitasnya meningkat. 

Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar umumnya masih memerlukan pencampuran dalam skala tertentu, seperti E10 atau E25. Pada mesin berkaburator dengan kompresi rendah, bahan bakar ber-oktan tinggi seperti RON 98 bahkan dapat menimbulkan masalah berupa pembakaran lambat dan busi basah.

Proses produksi biomassa membutuhkan pasokan bahan baku yang berkelanjutan, aditif pendukung, serta pengolahan awal yang konsisten. Selain itu, pembangunan industri biomassa memerlukan dokumen Amdal yang kuat mengingat prosesnya melibatkan pengolahan material organik dalam jumlah besar.

Kalimantan Selatan memiliki 246.000 hektare lahan produktif dengan kebutuhan BBM sekitar 2.560 ton per hari. Sementara Kalimantan Tengah mempunyai 111.000 hektare lahan sawah produktif dan kebutuhan BBM mencapai 1.780 ton per hari. Luas lahan ini menunjukkan bahwa biomassa memiliki peluang besar untuk dikembangkan, terutama jika produksi dilakukan secara berkelompok dan terintegrasi.

Jika semua pihak bergerak ke arah yang sama, biomassa dapat menjadi energi murah, efisien, dan beremisi rendah. Pengembangan energi terbarukan dapat dimulai dari pemanfaatan lahan tidur, penanaman padi secara optimal, penggunaan bibit unggul, hingga pembentukan kelompok tani guna memastikan kontinuitas bahan baku.

Generasi muda di daerah memiliki peran penting dalam mewujudkan hal ini. Mereka memiliki tenaga, wawasan, serta akses terhadap teknologi yang dapat menjadi kunci dalam pengembangan energi terbarukan.

Biomassa merupakan peluang menuju swasembada energi—bukan sekadar wacana yang layak ditertawakan.[]

Penulis : Taufiq (Pengamat Pertanian) 


Lebih baru Lebih lama