Cahaya yang Dinanti, Lima Tahun Setelah Basirih Darat Menyala

Cahaya yang Dinanti, Lima Tahun Setelah Basirih Darat Menyala

oleh: Zulkifli 

"Belum ada kata terlambat untuk sebuah perubahan", kalimat itu kembali terngiang di benak saya setiap kali mengenang sebuah artikel yang saya buat buah perjalanan liputan lima tahun lalu, di sebuah tempat yang namanya mungkin tak banyak dikenal: Handil Basirih Darat, RT 08 Desa Sei Asam, Kecamatan Kapuas Hilir, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Saat itu, di akhir tahun 2019, jalan menuju Basirih Darat bukanlah rute yang mudah. Dari desa induk Sei Asam, saya harus menempuh jarak sekitar 11 kilometer dengan sepeda motor melintasi jalan tanah yang berdebu, licin dan bergelombang. Di kiri-kanan, rawa dan semak menghijau menandakan betapa kesan terpencil kawasan itu.

Namun di ujung perjalanan itu, saya menemukan sesuatu yang tak ternilai,  semangat warga yang tak pernah padam untuk menikmati terang listrik.

Bagi mereka, cahaya bukan sekadar penerangan, tetapi simbol peradaban dan harapan. Bertahun-tahun lamanya warga hidup dalam kegelapan, mengandalkan lampu minyak atau genset yang hanya menyala beberapa jam setiap malam. Anak-anak belajar di bawah cahaya redup, sementara para ibu menanak nasi dengan sisa bahan bakar seadanya.

Namun semua itu berubah ketika program listrik pedesaan dari PLN Unit Induk Wilayah Kalimantan Tengah akhirnya menyentuh wilayah mereka.

Saya masih ingat bagaimana Masrawan, Kepala Desa Sei Asam kala itu, dengan nada bahagia mengatakan,

"Setelah sekian lama kami mengajukan usulan, akhirnya program ini terealisasi. Ada sekitar 40 kepala keluarga di RT 08 Handil Basirih Darat yang kini sudah teraliri listrik.”

Bagi Masrawan dan warganya, perjuangan itu tak sebentar. Mereka harus bolak-balik ke kecamatan, mengurus surat, melengkapi data, hingga menanti keputusan selama bertahun-tahun. Tapi ketika tiang-tiang listrik pertama kali berdiri di tanah mereka, semua lelah itu seakan terbayar lunas.

Di sore hari menjelang malam, saya menyaksikan sesuatu yang mungkin sederhana bagi kita di kota, tapi begitu monumental di mata warga. Anak-anak berkumpul di teras rumah sambil menatap bohlam yang perlahan menyala untuk pertama kalinya. Ada sorak kecil, ada tawa, ada haru yang tak bisa disembunyikan.

“Dulu kami hanya bisa bermimpi. Sekarang rumah kami terang benderang,” ujar Amang Asnul, seorang warga yang malam itu tak henti-hentinya tersenyum. “Anak-anak bisa belajar malam hari, kami bisa beraktivitas lebih lama. Terima kasih kepada PLN dan pemerintah, karena kerjasama inilah impian kami bisa terwujud.”

Listrik memang tampak seperti hal sepele bagi sebagian orang. Namun di pelosok negeri, ia adalah kehidupan itu sendiri. Dengan listrik, mesin penumbuk padi bisa beroperasi. Warung kecil bisa menjual es batu. Dan radio kembali bersuara membawa berita dari luar.

Cerita tentang Basirih Darat ini sejatinya adalah potret kecil dari perjalanan besar Indonesia menuju energi berdaulat.

Swasembada energi bukan sekadar jargon, melainkan misi yang diwujudkan dari hulu ke hilir - dari pembangkit listrik hingga rumah warga. PLN sebagai garda terdepan penyedia listrik nasional terus berupaya memaksimalkan sumber daya energi domestik, mengurangi ketergantungan pada impor, dan menghadirkan energi yang berkeadilan hingga ke pelosok negeri.

Program elektrifikasi desa yang dijalankan PLN di berbagai wilayah Kalimantan Tengah, termasuk di Kapuas, menjadi bukti nyata komitmen itu. Tidak hanya mengalirkan daya, tetapi juga menghadirkan kemandirian.

Dengan memanfaatkan potensi energi lokal -  mulai dari tenaga air, biomassa, hingga tenaga surya - PLN berupaya menghadirkan sistem energi yang kuat, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Inilah langkah konkret menuju Energi Berdaulat untuk Indonesia Kuat.

Kini, lima tahun telah berlalu sejak liputan itu. Handil Basirih Darat telah berubah. Rumah-rumah panggung yang dulu temaram kini terang setiap malam. Anak-anak yang dulu belajar dengan lampu minyak kini sudah duduk di bangku SMA, bercita-cita menjadi guru, dokter, dan teknisi listrik.

Beberapa warga bahkan mulai mengembangkan usaha kecil, menjual minuman dingin hingga beternak ayam dengan sistem lampu penghangat. Listrik membuka peluang baru yang sebelumnya tak terbayangkan.

Ketika saya kembali berkunjung awal tahun ini, malam di Basirih Darat terasa berbeda. Tidak lagi sunyi. Dari kejauhan terdengar dengung televisi, tawa anak-anak, dan suara radio yang memutar lagu-lagu daerah. Cahaya kuning dari rumah-rumah warga memantul di permukaan air kanal, seperti bintang yang menari di bumi.

Bagi saya, kisah ini bukan sekadar laporan lapangan. Ia adalah pelajaran berharga tentang arti kemandirian energi dan kekuatan gotong royong.

Kita sering bicara tentang pembangunan besar, pembangkit listrik, transmisi raksasa, energi hijau. Namun di balik semua itu, esensi sesungguhnya ada di tempat seperti Basirih Darat, di desa-desa kecil yang kini menjadi bagian dari peta terang Indonesia.

Listrik bukan sekadar arus yang mengalir di kabel. Ia adalah simbol keadilan, pemerataan, dan kemajuan. Ia menghidupkan ekonomi, menyalakan semangat belajar, dan menyatukan Indonesia dari ujung barat hingga timur.

Saat meninggalkan Basirih Darat waktu itu, saya sempat menatap lampu-lampu yang menyala di kejauhan. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Saya sadar, inilah makna sejati dari Energi Berdaulat untuk Indonesia Kuat - sebuah energi yang tumbuh dari keberanian untuk mandiri, dari kerja sama tanpa pamrih, dan dari keyakinan bahwa tidak ada daerah yang terlalu jauh untuk diterangi cahaya.

Note :
Feature ini ditulis berdasarkan pengalaman liputan lapangan penulis pada 2019 di Desa Sei Asam, Kapuas Hilir, Kalimantan Tengah, dalam rangka dokumentasi program elektrifikasi PLN. 
Lebih baru Lebih lama