Nama Hari Kepolisian dari Majapahit dan Kini di Tengah Pandemi

Nama Hari Kepolisian dari Majapahit dan Kini di Tengah Pandemi

SAAT Jepang menjajah Indonesia, kepolisian dibagi-bagi berdasarkan wilayah dan Kepolisian Kalimantan yang pusatnya ada di Banjarmasin.

Tahun ini, hari Bhayangkara diperingati di tengah pandemi Covid-19. Dikutip dari puskeu.polri.go.id, tema yang diangkat adalah “Transformasi Polri yang Presisi Mendukung Percepatan Penanganan Covid-19 untuk masyarakat sehat dan Pemulihan Ekonomi Nasional Menuju Indonesia Maju.”

Tema HUT Bhayangkara 2021 telah disetujui oleh kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Polri, sekaligus Ketua Umum Hari Bhayangkara ke-75 Komisaris Jenderal Paulus Waterpauw.

Di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), seperti yang dikabarkan siaran pers Pemprov Kalsel, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Kalsel menggelar puncak peringatan Hari Bhayangkara ke 75, pada Kamis 1 Juli 2021 di aula Mathilda Polda Kalsel.

Hadir pada Hari Bhayangkara 1 Juli Pejabat (Pj) Gubernur Kalsel, Safrizal ZA dan Ketua DPRD Kalsel Supian HK serta anggota Forkopimda lainnya.

Acara yang berlangsung dengan protokol kesehatan ketat dan pembatasan undangan yang hadir itu dilaksanakan dua sesi. 

Pertama upacara peringatan secara virtual yang dipimpin Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi), dilanjutkan syukuran serentak bersama Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo disertai pemotongan nasi tumpeng.

Pada momen itu, sejumlah anggota Polri mendapat apresiasi atas kinerja dan kreatifitas melalui media sosial dan internet. 

Dalam upacara peringatan Hari Bhayangkara ke 75 Polri, Presiden antara lain berpesan, Polri harus membenahi dan memperkuat manajemen kelembagaan dalam rangka menghadapi tantangan zaman dan tuntutan yang kian kompleks. 

"Dalam rangka menghadapi tantangan zaman dan tuntutan masyarakat yang semakin kompleks, Polri harus membenahi dan memperkuat manajemen kelembagaan-nya," sebut Presiden dari di Istana Negara, Jakarta.

Polri juga diharuskan membenahi secara komprehensif kebijakan perencanaan, kebijakan pengorganisasian, kebijakan penganggaran serta monitoring dan evaluasi, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini untuk mendukung Polri yang modern.

Kapolda Kalsel, Irjen Pol Rikwanto kepada wartawan mengatakan, anggota yang berprestasi akan diberikan apresiasi penuh seperti berhasil menangkap bandar narkoba dan menyita jumlah narkoba.

Penghargaan juga diberikan kepada anggota Polri yang kreatif melalui aplikasi media sosial, blog atau meme-meme yang bertujuan menciptakan komunikasi dengan masyarakat, agar masyarakat paham dengan tugas polisi dan mereka ikut membantu. 

“Yang kita berikan penghargaan tadi adalah mengapresiasi kinerja mereka supaya anggota Polri lebih kreatif lagi,” ujar Rikwanto.

Ia juga menyebut, di usia ke 75 ini, Polri sudah banyak inovasi-inovasi, kreasi dan pelaksanaan tugas yang dilakukan dan mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. 

Mengutip pernyataan Kapolri, rating tingkat kepusasan terhadap Polri makin membaik yaitu di atas 70 persen, berdasarkan hasil survei.

Kemudian di masa pandemi Covid-19, Polri bersama Pemda dan jajaran Dinas Kesehatan, ikut  memperbanyak sasaran atau penerima vaksin dan kedepannya sasaran vaksin ini terus ditingkatkan.

Di kalsel ujar Kapolda, terkait dengan gangguan keamanan, beberapa kasus menonjol seperti pembunuhan dan tindak kekerasan, masalah banjir, dan sebagainya turut ditangani dengan baik bersama pihak terkait.

Sementara Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam sambutannya di acara syukuran, menginstruksikan kepada seluruh jajarannya, agar menginventarisir permasalahan di lapangan dalam penanganan konflik sosial, dan tingkatkan kemampuan deteksi dini, terhadap berbagai kemungkinan terjadinya tindak kekerasan dan kriminalitas, serta upayakan pencegahannya  maksimal. 

Meningkatkan kesiapsiagaan operasional, mengoptimalkan kemampuan personel jajaran polri, mengembangkan terus konsep polmas, meningkatkan kerjasama, koordinasi, dan komunikasi yang efektif antar penegak hukum, pengemban fungsi kepolisian dan segenap pemangku kepentingan sebagai implementasi dari pendekatan sinergi polisional, guna mewujudkan situasi kamtibmas yang kondusif, dalam rangka mensukseskan pemilu 2024. 

Bagaimanakah sejarah dari Hari Bhayangkara dan terbentuknya Polri, dilansir dari humas.polri.go.id dan beberapa sumber lainnya, bahwa tanggal 1 Juli merupakan Hari Bhayangkara yang juga identik dengan HUT Polri. 

Hari Bhayangkara merupakan hari Kepolisian Nasional, yang diambil dari momentum turunnya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1946.

Sejatinya pada 1 Juli 1946 bukanlah pertama kalinya terbentuk korps polisi di Indonesia, melainkan penyatuan korps kepolisian yang berada di daerah-daerah, menjadi satu kesatuan secara nasional di bawah pemerintahan Republik Indonesia.

Adapun nama Bhayangkara adalah istilah yang digunakan Patih Gadjah Mada dari Majapahit, untuk menamai pasukan keamanan yang ditugaskan menjaga raja dan kerajaan kala itu.

Perjalanan korps kepolisian di Indonesia telah berlangsung sejak zaman pemerintah kolonial Belanda. Mereka membentuk kepolisian modern sejak 1897 hingga 1920. Inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Polri saat ini.

Kemudian saat Jepang menjajah Indonesia, kepolisian dibagi-bagi berdasarkan wilayah. Ada kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera dengan pusat di Bukittinggi, Kepolisian Indonesia Timur berpusat di Makassar, dan Kepolisian Kalimantan yang pusatnya ada di Banjarmasin.

Berbeda dengan zaman Belanda yang hanya mengizinkan jabatan tinggi diisi oleh orang-orang mereka, saat di bawah Jepang, Kepolisian dipimpin oleh warga Indonesia. Akan tetapi, meski menjadi pemimpin, orang pribumi masih didampingi pejabat Jepang yang pada praktiknya lebih memegang kuasa.

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, polisi bentukan Jepang seperti PETA dan Gyu-Gun dibubarkan. Dan setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kepolisian yang tersisa dari masa penjajahan menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.

Pada 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN). Selanjutnya, pada 29 September 1945, Presiden Soekarno menetapkan dan melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).

Kala itu, kepolisian masih ada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara untuk urusan administrasi. Akan tetapi pertanggungjawaban operasional dilakukan kepada Jaksa Agung. 

Kemudian, mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri.

Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.

Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.

Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional, berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.

Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.

Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.

Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).

Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.

Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan, selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.

Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.

Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).

Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara.

Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, gerakan demokratis dan sipil tumbuh mengganti peran militer dalam keterlibatan politik di Indonesia. Sebagai hasilnya, TNI pada masa ini telah mengalami reformasi tertentu, seperti penghapusan Dwifungsi ABRI. 

Reformasi ini juga melibatkan penegak hukum dalam masyarakat sipil umum, yang mempertanyakan posisi polisi Indonesia di bawah payung angkatan bersenjata. Reformasi ini menyebabkan pemisahan kepolisian dari militer. 

Pada tahun 2000, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara resmi kembali berdiri sendiri, dan merupakan sebuah entitas yang terpisah dari militer. Nama resmi militer Indonesia juga berubah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi kembali Tentara Nasional Indonesia (TNI).[adv/araska]


Lebih baru Lebih lama