Membongkar Jalan Tikus: Memutus Mata Rantai Generasi (1)

Membongkar Jalan Tikus: Memutus Mata Rantai Generasi (1)

Prosa oleh Ali Syamsudin Arsi 

MEMBONGKAR JALAN TIKUS: MEMUTUS MATA RANTAI GENERASI, tak aling-aling dan sungguh tak mau berpaling barang sedikit mata garang mata tajam bilah pedang mata sangkur senjata di ujung letup tak bisa dilawan dihardik balas menghujam dilempar batu sebesar genggam balas peluru mengarah ke lutut mata kaki telanjang ketapelmu ketapel kalian tak bisa benturkan besi baja tank-tank penghancur air mata boleh kalian teriak atau kalian sujud bahkan berzikir sekuat getaran otot tubuh tetapi akan lebih kuat lagi ledakan kembang api mematikan mematahkan tulang-tulang boleh kalian semburkan pasir gunung puing-puing bata rapuh rumah kosong tak punya perlengkapan lengkap karena semua hanya dipenuhi doa-doa tetapi yang datang adalah cakar-cakar baja bahkan bersama api-api mencabik di setiap punggung di setiap kulit di setiap wajah aling-aling kalian gali jalan-jalan tikus di bawah bantal di bawah dapur tempat bersemayam perlawanan fisik terakhir bila memang mesti dapat menempelkan napas karena bom-bardir membuta-buta datang ratalah gunduk puing tempat tinggal dengan tanah gersang terbangkan debu-debu lantas menyisir lorong sempit memulai perjalanan gelap ternyata karena itu pula peluru datang meliuk mengikuti arah jalan dan ujung panasnya menancap tepat di tengah kepala bagian belakang membuat pembuktian dari percontohan senjata betapa ilmu pengetahuan menjadi sarana pembantaian tanpa rintangan berkobarlah semangat dari semua penonton bahkan tepuk tangan tanpa berhenti terpingkal-pingkal kembang api ya kembang api pemutus mata rantai generasi jalan tikus sudah terpantau dalam jarak puluhan kilometer bahkan lebih dari itu titik-titik menentukan pun sudah lengkap ada di tangan mata peta ilmu pengetahuan sebagai sarana pembumi-hangusan bukan lagi akan rata dengan tanah tetapi membongkar jalur-jalur perhubungan rahasia di bawah lapisan tanah jalan-jalan tikus sempit dan gelap sedikit saja cahaya maka yakinlah bahwa tidak akan lama menjadi kubur belaka,

BIODATA
Ali Syamsudin Arsi, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan pada 5 Juni 1964, dengan nama Syamsudin. Alumnus Jurusan Bahasa dan Seni Universitas Terbuka. Menulis puisi, cerpen, dan esai sastra sejak 1980-an. Tulisannya dipublikasikan di harian Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Media Masyarakat, Radar Banjarmasin, Media Kalimantan, Mata Banua, Sinar Kalimantan (Banjarmasin), harian Surya (Surabaya), dan di beberapa media cetak lainnya. Buku kumpulan puisi tunggalnya, antara lain: ASA (1986), Seribu Ranting Satu Daun (1987), Tafsir Rindu (1989, 2005), Anak Bawang (2004), Bayang-bayang Hilang (2004), Pesan Luka Indonesiaku (2005), Bukit-bukit Retak (2006), Gemuruh (2014), Buku Setengah Tiang (2015), dan Stadium Tanah Ibu (2020). Tujuh buku karya sastranya bertitel ‘Gumam Asa’ yang telah diterbitkan adalah: Negeri Benang pada Sekeping Papan (2009), Tubuh di Hutan-hutan (2009), Istana Daun Retak (2010), Bungkam Mata Gergaji (2011), Gumam Desau dan Esai-esai (2013), Cau Cau Cua Cau (2014), dan Jejak Batu Sebelum Cahaya (2014). Juga menerbitkan satu buku Pantun Berkait (2015). Sejumlah puisinya juga dimuat dalam puluhan antologi bersama.
Di sela profesinya sebagai seorang guru di SMP Negeri 11 Banjarbaru, ia juga mengelola lembaga Kindai Seni Kreatif yang didirikan sejak tahun 2016, di Landasan Ulin Utara, Banjarbaru.

by #SastraBanua Facebook
Lebih baru Lebih lama