Bencana Bagi Manusia Berkah Bagi Bumi

Bencana Bagi Manusia Berkah Bagi Bumi


DI TENGAH kepanikan besar warga dunia dalam menghadapi virus corona atau Covid-19, ada sebuah dilema. Di satu sisi, virus corona membawa pukulan keras bagi ekonomi global. Jutaan kendaraan di dunia terparkir dan ribuan pabrik berhenti beroperasi. Sisi yang tak disangka-sangka, virus ini malah membawa angin segar bagi lingkungan hidup.

Pandemi virus Corona (Covid-19)  memang mengakibatkan banyak dampak negatif bahkan korban jiwa, akan tetapi di sisi lain juga punya sisi positif bagi Bumi. Disadari atau tidak, kondisi alam planet bumi kini membaik. Bumi bisa beristirahat!

Baru-baru ini ilmuwan mengamati, bahwa Bumi menjadi lebih sunyi di tengah pandemi yang dipicu Virus Corona baru itu. Untuk pertama kalinya secara berturut-turut, emisi gas rumah kaca, konsumsi bahan bakar fosil, lalu lintas udara, darat dan laut secara drastis telah menurun. Keadaan tersebut membuat emisi gas rumah kaca pada Maret 2020, menjadi sama kondisinya dengan 1990-an, yaitu 30 tahun yang lalu.

Getaran Planet Bumi Berkurang

SETIDAKNYA 4 miliar orang atau sekitar separuh dari populasi dunia, mengisolasi diri untuk memutus penularan virus corona. Aktivitas manusia pun berkurang drastis dan menjadikan getaran Planet Bumi berkurang.

Periset yang memantau pergerakan Bumi menyebut bahwa disetopnya sistem transportasi, bisnis, dan kegiatan manusia lain berkolerasi dengan getaran Bumi lebih rendah dari biasanya. Menurunnya pergerakan manusia di alam dan lingkungan luar ruangan secara signifikan mulai mengurangi jumlah polusi suara dan gempa bumi.

Penurunan kebisingan seismik ini, yaitu getaran di kerak Bumi, memunculkan peluang langka bagi ilmuwan untuk memonitor gempa Bumi kecil, aktivitas vulkanis serta tremor halus lain yang biasanya tenggelam karena pergerakan sehari-hari begitu banyak manusia.

Getaran lebih sunyi tersebut diobservasi oleh Thomas Lecocq, seismologi Belgia di Royal Observatory of Belgium dan dipublikasikan di jurnal Nature. Menurutnya, penurunan kebisingan semacam itu biasanya hanya terjadi sebentar di sekitar perayaan agama.

Gerakan dan kegiatan konstruksi semacam tambang juga memberi dampak tekanan pada kerak luar bumi. Namun, sejak wabah virus corona (Covid-19) merebak, hampir semua operasional tersebut dihentikan. Akibatnya, tidak ada gempa yang disebabkan manusia.

Pakar Kebumian dan Kebencanaan Universitas Brawijaya (UB) Profesor Adi Susilo menyebutkan kegiatan di rumah saja otomatis mengurangi aktivitas manusia di luar, sehingga juga akan mengurangi penggunaan kendaraan berat, seperti pesawat terbang, kendaraan darat yang bertonase besar atau kecil, hal ini berpengaruh terhadap frekuensi adanya gelombang seismik, akibat kendaraan, yang menjadi salah satu penyebab bencana longsor.

"Berkurangnya aktivitas manusia seperti penggunaan kendaraan berat dan pesawat terbang akan berpengaruh terhadap frekuensi timbulnya gelombang seismik. Gelombang seismik ini adalah gelombang yang merambat pada bagian dalam bumi, dan juga permukaan bumi" katanya di Malang, Rabu (22/4/2020).

Gelombang seismik dalam frekuensi tertentu, kata dia, memicu terjadinya longsor, seperti yang pernah terjadi di provinsi Jawa Barat beberapa waktu lalu, karena diakibatkan dari getaran kendaraan yang lewat.

Oleh karena itu, berkurangnya aktivitas manusia di luar menjadi momen bumi berisitirahat, sekaligus mengurangi proses yang ada di kulit bumi, dan berpengaruh terhadap infrastruktur bangunan.

"Jika frekuensi getaran sama dengan dengan frekuensi bangunan, maka akan menimbulkan resonansi bangunan sehingga bisa menyebabkan kerusakan, seperti retak. Getaran ini dihasilkan oleh kendaraan-kendaraan yang lewat," kata Adi.

Berkurangnya aktivitas manusia, juga akan mengurangi gangguaan pada infrastruktur buatan manusia, seperti jembatan dan bangunan. Apalagi daerah daerah pesisir utara sangat kuat sekali dilewati getaran-getaran seismik. Daerah di pesisir utara seperti Surabaya berasal dari endapan non vulkanik, seperti lempung dan lumpur.

Sebuah getaran ketika melewati lempung bisa kuat tapi kalau lewat pasir bisa diredam.

Semakin kuat getarannya maka pengeruh terhadap kerusakan bangunan akan semakin besar.

"Sekarang bumi relatif istirahat dari dilewatinya getaran seisimik dan bencana alam yang lain juga berkurang. Itu hikmahnya. Saya justru khawatir setelah ramadhan dan pandemi berakhir, mobilitas serta kebutuhan banyak maka kondisi alam akan menjadi lebih buruk lagi,"katanya.

Polusi Udara Berkurang

Di seluruh dunia terjadi penurunan polusi udara. Foto-foto satelit menunjukkan polusi jauh berkurang di Eropa dan China. Semua orang bahkan di Indonesia merasakan langit biru yang sebelumnya tertutup oleh asap polusi.

Untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, puncak Himalaya bisa dilihat jelas dari India. Hal ini pun berkat polusi udara yang drastis menurun sejak India memberlakukan lockdown. Akhirnya, warga India pun bisa menikmati pemandangan Himalaya lagi yang padahal jauhnya bisa mencapai ratusan kilometer. 

Nitrogen dioksida akibat asap dari pembakaran BBM berkurang secara signifikan di kota-kota besar dunia dari India, Beijing, Paris, Madrid dan Roma. Polusi udara diketahui menyebabkan penyakit paru-paru untuk manusia.

Menurut Marshall Burke, peneliti dari Stanford University, AS, penurunan polusi udara diyakini telah menyelamatkan ribuan orang dari kematian akibat udara beracun. Burke mengatakan, ada hubungan nyata antara kualitas udara yang buruk dan kematian dini, terkait menghirup udara beracun.

“Dengan mengingat hal ini, pertanyaan wajar -jika memang aneh- adalah apakah nyawa yang diselamatkan dari pengurangan polusi yang disebabkan gangguan ekonomi dari COVID-19 melebihi jumlah kematian akibat virus itu sendiri,” katanya.

Emisi Karbon Turun, Lubang Ozon Menutup

Pada akhir Maret, sejumlah ilmuwan di Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) melihat apa yang mereka sebut "celah besar yang belum pernah terjadi sebelumnya" di atmosfer, menjulang di wilayah Arktika.

Dalam waktu relatif cepat, celah itu lantas berkembang menjadi lubang terbesar yang pernah mereka pantau di belahan bumi utara. Lubang besar di atmosfer itu kira-kira ukurannya sebesar Pulau Greenland, yang membentang di permukaan lapisan es yang luas di wilayah kutub.

Penipisan ozon secara langsung berkaitan dengan suhu di stratosfer. Ozon dihancurkan oleh reaksi kimia dalam awan stratosfer yang hanya dapat terbentuk pada suhu di bawah -80 °C. Sebelumnya, lapisan ozon tersebut telah rusak akibat pemanasan global. Tingginya penggunaan zat chlorofluorocarbon atau CFC telah menyebabkan lapisan tersebut rusak dan dapat mengancam jiwa manusia.

Namun demikian pada 23 April, ada kabar baik: "Lubang ozon di Belahan Bumi Utara 2020 (2020 Northern Hemisphere) yang belum pernah terjadi sebelumnya telah berakhir," demikian cuitan CAMS dalam akun Twitternya.

Sebuah makalah ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal Nature, menyebutkan bahwa lubang ozon bumi mulai menutup. Menurut The Copernicus Atmosphere Monitoring, lapisan ozon kali ini terlihat tidak biasa di atas Antartika.

"Biasanya lubang ozon berada di Antartika di musim semi (September). Tahun ini, karena kondisi meteorologi khusus, penipisan ozon diamati juga di atas wilayah kutub utara," jelasnya.

Perbaikan ozon pun ini telah mengubah sirkulasi udara di atmosfer. Hal ini berpengaruh pada temperatur atmosfer, cuaca, tingkat curah hujan, serta dapat menyebabkan perubahan suhu laut dan konsentrasi garam.

Ada yang berasumsi bahwa lockdown yang dilakukan beberapa negara, yang menutup sementara beberapa pabrik dengan cerobong asap, menjadi salah satu faktor penyebabnya.

Lapisan ozon adalah bagian dari atmosfer yang ada di lapisan stratosfer Bumi. Lapisan ini melindungi warga Bumi dari radiasi ultraviolet dari Matahari. Tanpa lapisan pelindung radiasi ini, nyaris tak ada yang bisa bertahan hidup di Bumi.

Keberadaan lapisan ozon menjadi penting, karena melindungi Bumi dari terpaan sinar matahari yang berbahaya. Sebagian besar molekul ozon Bumi tersimpan di lapisan kedua atmosfer Bumi, yaitu di di stratosfer.

Pada ketinggian antara 10 hingga 40 km di atas Bumi, lapisan ozon merupakan salah-satu perisai paling efektif terhadap radiasi ultraviolet. Adanya celah pada pelindung ini dapat memengaruhi laju pencairan es, memberi tekanan lebih besar pada sistem kekebalan organisme hidup dan meningkatkan risiko kanker kulit dan katarak bagi manusia.

Walau banyak orang yang berpendapat, bahwa tertutupnya lubang ozon tersebut disebabkan berkurangnya polusi akibat terhentinya aktivitas manusia karena pandemi virus Corona. Beberapa peneliti lainnya membantahnya, mereka menyatakan bahwa lubang pada lapisan ozon di atas Antartika terus mengalami pemulihan, karena berkurangnya penggunaan Klorofluorokarbon (CFC) pada kulkas dan botol spray.

Lembaga CAMS mengatakan lubang yang tumbuh cepat itu, merupakan dampak dari kondisi cuaca yang tidak lazim di wilayah Kutub Utara. Ketika angin kencang menjebak udara dingin di atas lapisan es selama beberapa pekan secara berturut-turut, kondisi itu menciptakan apa yang oleh para ilmuwan disebut "pusaran kutub (polar vortex)" - kekuatan hebat yang berputar sendiri dan menghasilkan dampak yang cukup untuk merobek lubang ozon di lapisan stratosfer.

"Lubang ozon Arktika ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kebijakan karantina wilayah (lockdown) terkait virus corona, tetapi lebih disebabkan pusaran kutub yang kuat dan berlangsung lama," kata CAMS dalam sebuah cuitannya.

Meningkatnya Keanekaragaman Hayati

Mungkin jika kita hanya berkutat pada pemberitaan mengkhawatirkan dan menegangkan mengenai virus Corona, kita bisa lebih cepat lelah karena merasa seolah tak ada hal membahagiakan dari masa-masa menantang ini.

Tapi, hei, setidaknya coba lihat ke langit dari rumah kamu dan lihat perbedaan yang cukup kentara. Langit jauh lebih jernih, suara serangga dan burung lebih sering terdengar, dan dengan menyadari bahwa alam bisa bernapas segar, sudah merupakan suatu bentuk dampak positif sendiri yang bisa membuat kita mengapresiasi momen di masa-masa sulit.

Dari kota Venesia, yang terletak di Kawasan utara Italia, pemberlakuan lockdown memberikan ‘efek samping’ yang tak terduga di Venesia. Kanal-kanal yang biasanya keruh, berubah sangat jernih dan terlihat ikan-ikan berenang di bawahnya.

Beberapa orang sudah mengunggah foto-fotonya ke grup Facebook bernama Venezia Pulita (atau yang jika diterjemahkan adalah Clean Venice), di mana foto-foto tersebut memperlihatkan keindahan airnya yang jernih, yang kini dihuni kembali oleh ikan-ikan kecil, lengkap dengan pesan-pesan inspiratif, seperti “Alam melanjutkan hidupnya… Betapa indahnya.”

Beningnya air di kanal-kanal di Venesia memang bukan indikasi kualitas air yang membaik, namun lebih dikarenakan bekurangnya lalu lintas kapal/ gondola yang biasanya menggerus sedimen ke permukaan, kata Pierpaolo Campostrini, direktur pelaksana untuk Consortium for Managing Scientific Research on Venice Lagoon System, Italia.

Kebijakan lockdown juga memunculkan sesuatu yang lucu di Shedd Aquarium, di Chicago, Illinois, AS. Tempat wisata yang biasanya ramai pengunjung, terutama akhir pekan, sepi  karena ditutup untuk umum. Kesempatan tersebut membuat petugas kebun binatang dapat melepas beberapa penguin.

Video penguin berkeliaran layaknya pengunjung itu viral di media sosial. Penguin tampak jalan-jalan di luar kandang mereka. Seekor penguin kecil bahkan terlihat melihat ikan di tangki besar, sementara sekawanan ikan tampak mendekati penguin ke dinding kaca.

Sementara itu, menurunnya keberadaan manusia di daerah dan habitat alami sejak pandemi virus corona, membuat kehidupan satwa liar meningkat secara drastis. Wabah virus corona telah membuat bumi 'mampu bernapas lebih dalam'. Itulah mengapa ketidakhadiran manusia justru mebuat kondisi alam membaik.

Beberapa binatang cenderung bermunculan akibat ketidakhadiran manusia. Berkurangnya kendaraan yang melintas di jalanan membuat mahluk kecil seperti landak muncul dari hibernasinya.

Binatang mungil ini lebih aman dari kemungkinan terlindas mobil. Sementara spesies lainnya seperti bebek, mungkin bertanya-tanya kemana semua orang pergi, dan perlu mencari sumber makanan lain selain remah roti di taman.

Dengan hampir seluruh dunia yang memberlakukan social and physical distancing, aktivitas wisata di pantai pun jadi jauh lebih sepi. Bahkan di India, tepatnya di pantai bagian timur dari Odisha, dilaporkan 475.000 penyu laut Olive Ridley yang hampir punah, mengunjungi pantai, menggali tanahnya, dan mulai bertelur, hingga jumlahnya mencapai 60 juta, seperti yang dilansir The Mind Unleashed.

Dengan bersandarnya kapal pesiar untuk sementara waktu, lautan juga mengalami penurunan polusi suara, sehingga menurunkan tingkat stress mahluk laut seperti ikan paus, dan membuat migrasi yang lebih tenang.

Ingat, kan, betapa viralnya Orca yang melewati perairan tanah air kita? Ya, sekawanan mamalia ini ditemukan muncul di perairan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, dan sukses diabadikan oleh seorang nelayan setempat. Artinya, wilayah perairan tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang kaya, hingga paus yang biasanya ditemukan di perairan yang lebih dingin ini bisa melintasi perairan Anambas pada bulan Maret lalu.

Sekelompok ikan pari cownose rays Oman ditemukan muncul di Dubai Marina dan Business Bay, hal ini berkat sepinya lalu lintas kapal di perairannya. Warga Dubai yang menjadi saksi pun membagikan video-video indah itu di media sosial.

Konservasionis berharap pandemi Covid-19 akan membantu mengekang perdagangan satwa liar global, yang menjadi penyebab kepunahan sejumlah spesies. Perlu tindakan keras terhadap perdagangan satwa liar hidup.

Meskipun ada hal-hal positif yang tak terduga dari merebaknya virus corona, para ahli memperingatkan bahwa ketika wabah ini dapat diatasi dan mereda, banyak negara akan kembali me-reboot ekonominya, bisa jadi polusi, emisi, dan zat-zat berbahaya lain akibat aktivitas ‘normal’ manusia naik ke tingkat lebih tinggi ketimbang sebelum pandemi melanda.

“Secara umum, bisa dikatakan bahwa penurunan emisi global yang pernah kita lihat dalam beberapa dekade ini, terjadi justru saat krisis besar melanda dunia (Covid-19),” kata Zeke Hausfather seorang ilmuwan klimatologi dari Berkeley Earth.

Wabah virus corona membuat lingkungan hidup mulai berbenah. Oleh karena itu, wajar jika banyak orang kemudian berkomentar melihat fenomena ini, salah satunya adalah penggiat lingkungan hidup yang juga kandidat Direktur Walhi Nasional, Anton P Widjaya.

Pada 20 Maret yang lalu, Anton mengungkap perihal Covid-19 yang dilihat dari perspektif serta refleksi lingkungan. “Covid-19 menyerang dan menjadi wabah mematikan ini adalah wujud kongkret dari hilangnya keseimbangan alam.”

Bahkan, Covid-19 oleh Anton dianggap sebagai sebuah refleksi yang setidaknya dapat menyadarkan manusia kalau alam memang memiliki kekuatan serta kemampuan dalam melindungi kehidupan kita sebagai manusia. Tetapi, karena kondisinya telah rusak, maka manusia harus berhadapan langsung dengan semua bencana dan selalu menjadi korban dari bencana tersebut.

Dalam konteks Covid-19 ini, manusia lalu dapat memberikan kesempatan kepada lingkungan hidup untuk bernapas, memulihkan daya dukung dan daya tampungnya. Sehingga orang-orang sadar, Covid-19 bukanlah sekadar siklus alam belaka yang memakan banyak korban jiwa.

Terlebih lagi, “Covid-19 mampu membenarkan cara pandang kita, bahwa alam tidak sekadar komoditi ekonomi, bahwa alam lingkungan dan semesta memiliki nilai sosial dan kultural, memiliki kemampuan mereduksi segala bentuk bencana, harus segera kita lakukan,” kata Anton.

Sebagai penutup, kiranya sepenggal kalimat dari film Underwater (2020) yang dibintangi oleh Kristen Stewart, dapat menyadarkan bahwa lingkungan hidup dapat memperbarui dirinya sendiri:

"Karena kita sudah terlalu banyak mengambil dari laut. Kini laut ingin mengambilnya kembali dari kita. Seharusnya kita tidak di sini."

Apakah setelah manusia berhasil mengatasi pandemi COVID-19 ini akan membuat mereka lebih sadar akan kelestarian lingkungan dan lebih bersahabat dengan bumi, atau malah akan semakin menggila?

Kesadaran itu memang mahal, terkadang harus dibayar dengan nyawa, maka jangan salahkan alam, bila nanti memberikan bencana yang lebih hebat dari pandemi ini!

“Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia, pada 5 Juni 2020”


Penulis: Rahman Banjar

Jurnalis

Sumber : mongabay.co.idkompas.combbc.comhype.grid.idcosmopolitan.co.idvoi.idgenpi.co, dan berbagai sumber lainnya.

Lebih baru Lebih lama