PEMBUKAAN lahan gambut dengan cara membakar seringkali menimbulkan pro-kontra serta perdebatan. Di satu sisi, ada kebutuhan masyarakat kecil untuk mengolah lahan dan di sisi lain ada juga risiko kerusakan lingkungan yang tidak dapat dianggap remeh. Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat persoalan ini sebagai dilema yang perlu ditelaah lebih dalam.
Menurut saya, praktik pembakaran masih bisa diterima dalam kondisi tertentu, asalkan memenuhi syarat ketat sesuai ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Sebagai payung hukum utama dan aturan turunannya yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
UU PPLH melarang pembukaan lahan dengan cara membakar sebagaimana tercantum dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h. Namun Pasal 69 ayat (2) menegaskan bahwa larangan tersebut harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan kearifan lokal di daerah masing-masing.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa negara tidak menutup ruang bagi praktik masyarakat adat atau petani tradisional. Mereka mengandalkan teknik turun-temurun dalam mengelola api, yang dilakukan dalam skala kecil, dan biasanya lebih terkendali dibanding praktik yang dilakukan oleh pihak-pihak besar.
Larangan di dalam UU PPLH muncul karena alasan yang jelas. Pasal 67 dan Pasal 68 mewajibkan setiap orang untuk menjaga kelestarian lingkungan, mencegah pencemaran, dan menghindari kerusakan.
Hal ini menunjukkan kearifan lokal tidak boleh digunakan sebagai alasan bebas untuk membenarkan praktik yang membahayakan ekosistem gambut. Prinsip dasar lingkungan tetap menjadi landasan utama. Asas keberlanjutan, keadilan, dan kearifan lokal dalam Pasal 2 dan Pasal 3 menjelaskan bahwa setiap tindakan harus memperhatikan keselamatan manusia dan kelestarian alam.
Ketentuan dalam UU PPLH selaras dengan PERMEN LH No. 10 Tahun 2010 yang mengatur mekanisme pencegahan pencemaran dan kerusakan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan. Peraturan ini mengatur kewajiban pencegahan, pemantauan, dan penanganan dini apabila muncul titik api.
Salah satunya terdapat dalam Pasal 4 yang menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga wajib memberitahukan kepada kepala desa.
Ketentuan ini mempertegas kembali bahwa pembakaran tradisional tidak bersifat bebas, tetapi harus dilakukan dengan pengawasan administratif yang jelas.
Bagi saya, Pasal 4 ini menunjukkan bahwa negara tidak sekadar memberi ruang bagi praktik tradisional. Negara juga memastikan adanya tanggung jawab dan keterbukaan dalam setiap kegiatan pembakaran.
Pemberitahuan kepada kepala desa berfungsi sebagai bentuk pengawasan awal dan memastikan bahwa kegiatan tersebut tidak menimbulkan risiko kebakaran besar.
Dengan mekanisme ini, praktik pembakaran tradisional tetap dapat dijalankan tanpa mengabaikan keselamatan lingkungan dan masyarakat sekitar.
Saya melihat pembakaran tradisional dapat menjadi titik temu antara kebutuhan masyarakat dan upaya untuk menjaga lingkungan. Namun praktik ini hanya dapat dibenarkan jika memenuhi beberapa syarat penting. Pertama, dilakukan oleh komunitas lokal yang memahami aturan adat dan memiliki kemampuan mengendalikan api berdasarkan pengalaman turun-temurun.
Kedua, area yang dibakar tidak melampaui daya dukung lahan. Ketiga, kegiatan tersebut tidak menimbulkan pencemaran atau kebakaran besar yang merugikan masyarakat sekitar. Resiko kebakaran besar harus ditekan serendah mungkin.
Jika ketentuan-ketentuan tersebut telah terpenuhi, praktik pembakaran lahan gambut dengan cara tradisional dapat diterima secara hukum, sosial, dan moral. Negara perlu memberikan ruang bagi masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada lahan yang mereka kelola sebagaimana yang telah diatur alam UU PPLH. Kearifan lokal akan tetap dihargai selama selaras dengan perlindungan lingkungan.
Walaupun saya menyetujui pembakaran lahan gambut secara tradisional, saya tetap memandang bahwa negara juga memiliki tanggung jawab besar dengan perlu menyediakan pilihan lain.
Alternatif pembukaan lahan tanpa bakar harus tersedia dalam bentuk pelatihan, teknologi sederhana, atau dukungan teknis dan sarana agar masyarakat adat atau petani tradisional tidak hanya mengandalkan metode bakar untuk membuka lahan mereka.
Hal ini menjadi catatan penting bagi negara dan pemerintah yang berwenang agar masyarakat tidak hanya diberi beban tanggung jawab, tetapi juga dibantu untuk mendapatkan solusi yang aman bagi kelestarian ekosistem gambut.
Bagi saya, pembakaran untuk membuka lahan gambut berbasis kearifan lokal dapat dibenarkan secara hukum selama persayaratan ketat yang telah saya sebutkan terpenuhi.
Masalah ini bukan hanya sekadar boleh atau tidak, tetapi berkaitan tentang bagaimana keseimbangan antara hak masyarakat lokal dan alam yang wajib dijaga. Hukum memiliki peran penting untuk menjamin kepentingan keduanya dapat terintegrasi secara proporsional.[]
