Gombalisme Jurnalistik

Gombalisme Jurnalistik


SAMBIL menepuk dada, seorang wartawan mengaku sebagai wartawan senior yang sudah malang melintang selama belasan tahun di dunia jurnalistik. Sambil terus menceritakan pengalamannya, ia mengeluarkan beberapa id card yang salah satunya merupakan kartu anggota lembaga pers yang kredibilitasnya diakui pemerintah.

Di tempat berbeda, seseorang mengklaim dirinya sebagai wartawan profesional dengan dalih sudah sering mendapat ancaman pembunuhan dari sejumlah pengusaha yang bisnis ilegalnya pernah ia tulis di surat kabar mingguan lokal. Ada pula yang mengaku sebagai wartawan namun kerjaannya hanya membuat para pejabat pusing tujuh keliling. Masyarakat biasa menyebut mereka dengan istilah ”wartawan bodrex”.

Dari pengakuan sejumlah pejabat, kelompok wartawan bodrex ini tidak pernah menjalankan profesinya dengan benar. Tidak sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang pers dan kode etik jurnalistik. Mereka cenderung menyimpang dari profesi wartawan yang sesungguhnya. Bahkan gilanya lagi, sebagian besar dari mereka ternyata memang tidak bekerja di perusahaan media apa pun.

Geli sekali saya mendengarnya. Ternyata ada banyak “spesies” wartawan ajaib di kampung saya. Padahal, Yurnaldi, seorang wartawan Harian Kompas, di dalam bukunya yang berjudul "Jurnalisme Kompas" menjelaskan standar seseorang bisa disebut wartawan adalah ketika ia mampu melaksanakan beberapa hal, antara lain memahami kode etik jurnalistik dan tentunya harus memiliki keterampilan menulis jurnalistik. Selain itu, seorang wartawan harus menguasai teknik penulisan berita, serta memiliki kemampuan bahasa Indonesia dan idealnya juga harus menguasai bahasa Inggris dengan baik.

Seorang jurnalis juga harus memiliki integritas yang tinggi. Tentu ada banyak syarat lainnya untuk mencapai level "profesional". Seperti melaksanakan seluruh peliputan jurnalistik dalam kondisi apa pun; dapat mencari, menemukan, dan menggali narasumber; menulis berita sesuai fakta; menguasai teknik wawancara jurnalistik; menguasai teknik wawancara khusus; menguasai teknik penulisan feature dan tematik; dan memiliki keterampilan menulis extensive feature.

Itulah bedanya wartawan nasional dengan wartawan di daerah. Memang tidak semua wartawan daerah kualitasnya pas-pasan. Namun, entah mengapa, sebagian wartawan yang bekerja di daerah tingkat dua justru terlihat lebih menonjol hanya karena, misalnya, punya banyak kartu pers, punya banyak teman pengusaha, atau pernah dikeroyok preman. Padahal, untuk menulis berita saja, sebagian wartawan lokal masih kesulitan. Beberapa orang di antaranya justru mengaku tidak hobi menulis. Sebagian lainnya malah tidak bisa menulis sama sekali.

Kalaupun terpaksa harus menulis karena tuntutan pekerjaan, suasananya harus benar-benar mendukung, misalnya di dalam suasana yang jauh dari kebisingan. Itu pun harus ditambah lagi dengan aneka sesajen untuk menambah nuansa kekhusyukan dalam menulis berita seperti kembang tujuh rupa dan minyak kasturi yang diimpor dari negeri Yaman. Jika dalam proses pembuatan berita tersebut ada keributan kecil atau ada seekor kucing yang menabrak gelas dan piring, maka buyarlah seluruh ide yang tersimpan di kepala. Otomatis rencana membuat satu berita "potong pita" dipastikan gagal total.

Oleh karena itu, kalaupun tidak bisa memenuhi berbagai kriteria untuk menjadi seorang jurnalis profesional, setidaknya seorang wartawan harus bisa menulis berita dengan baik dan benar. Namun, jangankan soal EBI, membedakan antara straight news dengan feature saja sering kali kerepotan.

Mereka yang sering mengklaim sebagai wartawan profesional, namun memiliki kemampuan pas-pasan. Umumnya mereka hanya fokus dengan simbol-simbol jurnalistik seperti id card pers, kartu anggota kelembagaan, atau seberapa lama mereka menjadi seorang "jurnalis". Padahal, saya tahu betul kalau uji kompetensi wartawan di daerah masih bisa dimanipulasi. Lulus tidaknya seorang wartawan tidak melulu dinilai dari kemampuan dan pengetahuan dalam dunia jurnalistik, tetapi juga tergantung seberapa dekat si wartawan dengan sejumlah pengurus organisasi pers di tingkat yang lebih tinggi.

Saya juga tak habis pikir, kok, ada wartawan yang justru bangga ketika mendapat ancaman pembunuhan atau saat wajahnya lebam-lebam karena dikeroyok preman. Tetapi, begitulah kondisi para jurnalis di kampung saya. Sebutan "wartawan profesional" akan diperoleh ketika peluru sudah menembus dada.

Penulis: Puja Mandela


Lebih baru Lebih lama